Sokongan Pengembangan Diri Guru Belum Memadai- Guru- guru tetap dituntut buat berganti. Tetapi, sokongan untuk guru belum mencukupi.
Alih bentuk pembelajaran menginginkan sokongan para kepala sekolah, pengawas, serta guru yang sanggup menggerakkan ekosistem di sekolah buat menghasilkan area berlatih serta kualitas pembelajaran yang bagus. Tetapi, sokongan pada guru serta daya pembelajaran di sekolah menekankan pada perihal teknis, belum terdapat sokongan mencukupi meningkatkan keahlian nonteknis guru supaya kemampuan kebaikan serta kepemimpinan mereka maksimal.
Sementara itu, para guru butuh sokongan buat sanggup berganti dengan dorongan dalam diri mereka. Sepanjang ini, tugas- tugas selaku pengajar lebih dijalani selaku peranan semata, terlebih dengan banyaknya program penguasa buat pembelajaran yang silih bertukar, yang lalu memuat guru dengan fokus pada kemampuan modul penataran ataupun bobot administrasi.
Pembelajaran ialah tiang penting pembangunan bangsa, serta guru merupakan tulang punggung dalam melaksanakan tujuan itu. Tetapi, di Indonesia, sokongan kepada pengembangan diri guru sedang jauh dari mencukupi. Bermacam hambatan, mulai dari akses penataran pembibitan, keterbatasan perhitungan, sampai minimnya kebijaksanaan yang terencana, membuat banyak guru kesusahan tingkatkan kompetensi mereka. Sementara itu, di masa digital serta kesejagatan ini, guru dituntut buat lalu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi serta tata cara penataran terkini.
Berartinya Pengembangan Diri Guru
Guru bukan semata- mata pelapor ilmu, namun pula penyedia yang membuat kepribadian serta keahlian anak didik. Dalam bumi yang lalu berganti, guru butuh memahami keahlian era 21, semacam literasi digital, berasumsi kritis, serta keahlian kerja sama. Pengembangan diri guru melingkupi penataran pembibitan pedagogik, penguatan kompetensi mata pelajaran, sampai pengembangan soft skills semacam kepemimpinan serta komunikasi.
Bagi Dokter. Anies Baswedan, mantan Menteri Pembelajaran serta Kultur,“ Guru yang lalu berlatih merupakan guru yang sanggup menginspirasi. Tanpa sokongan yang mencukupi, kita tidak dapat berambisi mutu pembelajaran bertambah.” Statment ini menggarisbawahi urgensi pemodalan pada pengembangan guru selaku kunci kesuksesan sistem pembelajaran.
Hambatan dalam Pengembangan Diri Guru
- Keterbatasan Akses Pelatihan
Banyak guru, paling utama di wilayah terasing, kesusahan mengakses penataran pembibitan bermutu. Prasarana internet yang tidak menyeluruh membuat penataran pembibitan daring susah diiringi. Misalnya, seseorang guru di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, berterus terang cuma memperoleh penataran pembibitan lihat wajah sekali dalam 3 tahun sebab keterbatasan pemindahan serta perhitungan.
Program semacam Guru Pelopor yang dipelopori Departemen Pembelajaran, Kultur, Studi, serta Teknologi( Kemendikbudristek) memanglah menjanjikan, namun kuotanya sedang terbatas. Dari 3, 2 juta guru di Indonesia, cuma dekat 60. 000 guru yang sudah menjajaki program ini sampai 2024. Nilai ini membuktikan kalau rasio program belum sanggup menjangkau kebanyakan guru.
- Perhitungan Pembelajaran yang Tidak Optimal
Walaupun perhitungan pembelajaran Indonesia sudah menggapai 20% dari Perhitungan Pemasukan serta Berbelanja Negeri( APBN), peruntukan buat pengembangan guru sedang sedikit. Beberapa besar perhitungan terserap buat pendapatan serta prasarana sekolah, sebaliknya penataran pembibitan guru kerap kali jadi prioritas kedua. Informasi Kemendikbudristek membuktikan kalau cuma 2, 5% dari keseluruhan perhitungan pembelajaran dialokasikan buat penataran pembibitan serta pengembangan handal guru pada 2023.
“ Perhitungan yang terdapat kerap kali tidak hingga ke guru di alun- alun. Banyak penataran pembibitan yang diselenggarakan cuma ritual, tanpa akibat jelas pada kenaikan kompetensi,” ucap Bunda Ekstrak, seseorang guru SMA di Bandung yang sudah membimbing sepanjang 15 tahun.
- Minimnya Insentif serta Motivasi
Guru yang aktif meningkatkan diri kerap kali tidak memperoleh insentif yang mencukupi, bagus berbentuk ekskalasi pendapatan, advertensi kedudukan, ataupun pengakuan resmi. Perihal ini membuat banyak guru sungkan mengosongkan durasi buat penataran pembibitan, paling utama bila mereka wajib menanggung bayaran sendiri. Seseorang guru honorer di Yogyakarta, misalnya, berterus terang wajib melunasi Rp500. 000 buat menjajaki penataran pembibitan daring mengenai penataran berplatform teknologi, sementara itu gajinya cuma Rp1, 2 juta per bulan.
Tidak hanya itu, bobot administrasi yang berat pula membatasi guru buat fokus pada pengembangan diri. Informasi bulanan, penilaian kemampuan, serta tugas- tugas non- akademik kerap kali mengambil durasi yang sepatutnya dipakai buat berlatih ataupun meningkatkan tata cara pengajaran.
- Kebijaksanaan yang Kurang Terintegrasi
Program pengembangan guru kerap kali tidak berkepanjangan sebab pergantian kebijaksanaan yang sangat kilat. Misalnya, program sertifikasi guru yang luang digalakkan pada dasawarsa kemudian saat ini dikira kurang efisien sebab banyak guru yang lolos sertifikasi tidak membuktikan kenaikan mutu membimbing. Tidak hanya itu, kurikulum yang lalu bertukar, semacam dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, membuat
