Alexa slot Alexa99 alexa99 kiano88 kiano 88 alexa slot

Ray Wagiu Meriset Kesepian hingga Tengkes

Ray Wagiu Meriset Kesepian hingga Tengkes

Ray Wagiu Meriset Kesepian hingga Tengkes – Pendiri Health Collaborative Center, Ray Wagiu, melakukan riset masalah kesehatan berbasis.

Ray Wagiu Basrowi (48), seorang praktisi kesehatan masyarakat sekaligus pendiri Health Collaborative Center, kiano88 telah melakukan belasan riset yang berfokus pada isu-isu krusial seperti kesehatan mental, kesepian, hingga pencegahan tengkes atau stunting. Penelitiannya memberikan dampak nyata bagi masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan.

Sebagai praktisi medis, Ray Wagiu menyadari bahwa sistem kesehatan di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Melihat adanya ketimpangan dalam akses dan kualitas layanan kesehatan, serta kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan penyakit, ia pun mendirikan Health Collaborative Center (HCC) pada 2019.

HCC hadir sebagai wadah kolaborasi lintas sektor, seperti tenaga medis, akademisi, organisasi nonprofit, hingga masyarakat luas, dengan pendekatan berbasis riset dan edukasi.

Menurut Ray, pemetaan kesehatan berbasis perilaku sangat penting sebagai fondasi perumusan kebijakan. Tanpa pemahaman yang akurat tentang perilaku masyarakat, program kesehatan pemerintah akan sulit berjalan efektif.

Karena itu, ia berharap ekosistem riset di Indonesia dapat tumbuh lebih subur. Terlebih, banyak negara tetangga sudah lebih maju dengan indeks riset yang tinggi dan menjadikan penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan.

”Di banyak negara, riset perilaku sudah menjadi dasar dalam proses perumusan kebijakan publik. Negara-negara tetangga telah melangkah lebih maju dengan indeks riset yang tinggi,” ujar Ray saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (12/6/2025).

Awalnya, Ray memulai karier penelitiannya di bidang laktasi. Namun, pandemi Covid-19 pada 2020 mendorongnya memperluas fokus penelitian ke bidang perilaku dan kesehatan masyarakat. Ia menyoroti bagaimana masyarakat beradaptasi selama pandemi, terutama dalam hal pemahaman terhadap kesehatan dan pengambilan keputusan.

Salah satu temuan awalnya menunjukkan bahwa 8 dari 10 warga Jakarta memilih berbelanja secara daring untuk mengatasi stres selama pandemi. Temuan ini mendorongnya meneliti lebih dalam perilaku kesehatan masyarakat saat pandemi, termasuk persepsi terhadap vaksinasi dan pola hidup sehat.

Hingga kini, Ray telah menyelesaikan sekitar 14 studi terkait kesehatan masyarakat berbasis perilaku, mencakup isu kesehatan mental, kesepian, hingga pencegahan tengkes.

Dalam salah satu studi pentingnya tentang tengkes, ia menemukan bahwa meski 96 persen ibu di Indonesia menyadari bahaya stunting, 88 persen dari mereka tidak mengaitkannya secara langsung dengan pola makan atau pola asuh. Temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman yang perlu dijembatani dengan pendekatan yang lebih tepat sasaran.

Penelitian Ray banyak menyasar wilayah Jabodetabek, tetapi responsnya berskala nasional. Adapun hingga tahun 2023 seluruh penelitian tersebut dikerjakan secara mandiri, baik secara operasional maupun pembiayaan.

Sejak akhir 2023, Ray mulai menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan, yayasan, dan BUMN untuk mendukung publikasi risetnya. Meskipun pendanaannya masih terbatas dan belum melibatkan pemerintah secara langsung, ia tetap menjaga independensi riset dengan harapan hasil-hasilnya dapat digunakan untuk mendukung kebijakan kesehatan nasional.

Kesepian di wilayah perkotaan
Pada akhir 2023, Ray juga melakukan salah satu penelitian populernya terkait isu kesepian (loneliness) sebagai bagian dari perhatian terhadap kesehatan mental masyarakat urban.

Survei ini digelar sejak Oktober 2023 dan melibatkan 1.299 responden di wilayah Jabodetabek. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 44 persen responden mengalami kesepian tingkat sedang, sementara 6 persen lainnya berada pada tingkat kesepian yang tinggi.

Temuan ini menggarisbawahi bahwa di balik kehidupan kota yang terlihat modern dan sibuk, banyak individu yang diam-diam mengalami kesepian mendalam.

Individu yang merantau dan tinggal jauh dari keluarga menunjukkan tingkat kesepian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal bersama keluarga. Hal ini menunjukkan pentingnya peran jaringan dukungan sosial dalam menjaga kesehatan mental.

Kelompok usia muda, terutama rentang usia 18–30 tahun, juga teridentifikasi sebagai kelompok paling rentan terhadap kesepian. Meskipun aktif secara sosial maupun digital, tekanan hidup dan fase transisi identitas di usia dewasa awal menjadikan mereka lebih mudah mengalami isolasi emosional.

Dari sisi jender, 52 persen responden yang mengalami kesepian derajat sedang adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dua kali lebih berisiko mengalami kesepian ketimbang laki-laki.

Beberapa faktor dominan yang menyebabkan kesepian, antara lain, rasa tidak cocok dengan orang sekitar, sering merasa malu dan minder, tidak bisa dekat dengan orang lain, serta memiliki hobi yang tidak sama dengan orang yang ada di sekitarnya.

Selain itu, riset lain yang dilakukan oleh HCC juga mengungkapkan bahwa 34 persen siswa SMA di Daerah Khusus Jakarta terindikasi memiliki masalah kesehatan jiwa. Dari jumlah tersebut, hanya empat dari 10 anak yang mendapatkan akses pengobatan yang memadai.

Temuan-temuan tersebut menegaskan pentingnya peran bersama dalam upaya pencegahan. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu memperkuat jaringan sosial masyarakat melalui penyediaan ruang publik, kegiatan sosial, serta akses yang mudah terhadap layanan konseling.

Kampanye kesehatan mental juga harus digencarkan untuk meningkatkan kesadaran bahwa kesepian merupakan isu kesehatan yang serius, bukan sekadar persoalan pribadi.

Menurut Ray, kesepian adalah gejala sosial yang nyata dan dapat mengancam kesehatan mental. Ray menjelaskan bahwa para responden yang melaporkan mengalami kesepian tidak hanya dijadikan obyek penelitian, tetapi juga mendapat kunjungan dan edukasi langsung sebagai bentuk intervensi nyata.

Selain itu, HCC juga meluncurkan kampanye bertajuk Cek Teman Sebelah sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan mental masyarakat Indonesia. Gerakan ini mendorong masyarakat untuk lebih peduli dan memperhatikan kondisi teman atau keluarga di sekitar mereka yang sedang mengalami tekanan mental.

”Kesehatan mental masih sering diabaikan. Lewat gerakan ini, kami ingin mendorong orang-orang untuk secara aktif memperhatikan dan memeriksa teman-teman mereka yang mungkin sedang berjuang dengan masalah yang tak terlihat,” ujar Ray.

Ray menambahkan, HCC juga menyediakan platform digital yang memudahkan masyarakat mengakses hotline konseling, informasi psikologi populer, serta panduan praktis untuk mendukung orang terdekat yang tengah berjuang.

”Melalui tindakan sederhana seperti bertanya apa kabar? atau mendengarkan dengan penuh perhatian, kita bisa membantu meringankan beban orang lain,” kata Ray.

Dengan berbagai inisiatif ini, Ray berharap masyarakat Indonesia dapat menjadi lebih empatik dan aktif terlibat dalam upaya menjaga kesehatan mental bersama.

Biodata
•⁠ Nama lengkap: Ray Wagiu Basrowi

•⁠ TTL: Manado, 7 Juli 1977

•⁠ Pendidikan: S-1 Fakultas Kedokteran di Universitas Samratulangi Manado (1995-2003)

•⁠ S-2 Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran, di Universitas Indonesia (2010-2012)

•⁠ S-3 Ilmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran, di Universitas Indonesia (2014-2019)

•⁠ Penghargaan: ⁠ ⁠Young Investigator Award dari Indonesia Nutrition Association (2010)

-⁠ ⁠⁠Medical Leadership Award dalam Asia Pacific Nutrition Business Forum Singapore (2012)

– ⁠⁠The Most Innovative Leader dalam ajang 28th World Congress on Clinical Nutrition (WCCN) pada tahun 2025 oleh PERGIZI PANGAN dan GAPMMI

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *