Putu Memutuskan Belenggu – Putu terkesiap Pengarang tua itu merenungkan sebutan peperangan yang bisa jadi kelewatan buat membingkai kultivasi.
Umur Putu Keagungan( 81) yang lalu merambat dibuntuti dengan kendala kesehatannya. Tetapi, bujangga kawakan itu menyangkal buat pasrah. Beliau sedang tidak berubah- ubah merangkai perkata nan elok walaupun wajib berkreativitas dengan kiano88 seruas jarinya saja.
Putu sedang mudah menguraikan pemikirannya. Stroke merongrong ahli sastra itu pada akhir tahun 2012, namun energi ciptanya tidak sempat mati. Beliau berbicara dengan suara kira- kira serak yang lembut serta mata kanannya hampir senantiasa terkatup.
Dikala berjalan, beliau wajib dipapah istrinya, Bidadari Pramunawati, dengan tertatih- tatih. Bangku cakra pula tetap sedia sedia di dekat artis serba dapat itu. Tangan Putu digenggam serta badannya yang sedikit gontai dipegang dari balik.
Putu kemudian menata duduknya senyaman bisa jadi. Beliau dapat mencapai handphone- nya serta mengetik walaupun motoriknya amat terbatas.” Jika laptop, sulit. Tangan aku sedang beranjak, tetapi tidak dapat diperintah. Senang meronta,” tuturnya sembari mesem.
Saat ini, jempol kanan jadi salah satunya indera yang menuangkan inisiatif Putu buat dipampangkan di layar kerja. Sedangkan jari lain menahan handphone.” Aku bangun tidur, di mobil, serta sepur dapat gunakan asal baterainya lumayan. Ingin kirim apa- apa melalui handphone saja,” tuturnya.
Putu sudah memindahkan seluruh dokumennya dari laptop ke handphone. Beliau pasti wajib jatuh bangun saat sebelum dapat membiasakan degenerasi fisiknya dengan kemodernan kerja.” Berlatih ngetik pula. Dahulu, handphone aku yang gunakan tombol jadi mudah,” ucapnya.
Seraya terkekeh, Putu berterus terang kebimbangan sehabis mengenakan android karena handphone- nya menunjukkan huruf- huruf digital. Tidak tidak sering, huruf- huruf lain pula tertekan.” Anehnya, durasi bermukim satu tangan yang berperan, aku cepat berlatih. Lebih kilat dari yang aku perkirakan,” ucapnya.
Putu telah terbiasa dalam satu ataupun 2 hari saja. Beliau maju dengan benak yang tidak takluk cepat. Saking cepatnya, handphone justru sering tidak sanggup menjajaki deskripsi yang dituangkan dalam aplikasi transkripsi sampai kalimat- kalimatnya sedemikian itu rancu.
” Aku ngomong kilat, tetapi terdapat yang tertinggal hingga numpuk- numpuk. Saat ini, aku melambatkannya. Jika tidak, salah lalu,” tuturnya. Sesekali, auto- koreksi menimbulkan kelalaian sebab handphone tidak menguasai kosakata sastrawi dengan mengubahnya.
Kontan, keestetikan perkataan justru berhamburan. Hendak namun, beliau juga begitu lemas sampai mempelajari alternatif- alternatif buat menggubah ciptaannya.” Hasilnya baik pula. Aku jadi tertolong, tetapi senantiasa wajib ditilik. Salah lagi, salah lagi, serta lalu diperbaiki,” tuturnya.
Menghidupi sastra
Gairah Putu mengakrabi teknologi sudah melegalkan hasratnya yang bernyala- nyala buat memutuskan argari berkarya. Di tengah potret kabur kesusastraan Indonesia, beliau mengetahui pekerjaan yang belum dapat ditumpukan seluruhnya buat mengenyam rutinitas dengan pantas.
Semenjak mengadu kodrat ke Jakarta buat menggeluti pentas serta cerpen pada 1969 saja, Putu telah memantau muramnya kesusastraan Tanah Air.” Honor menulis, terlebih untuk yang telah berkeluarga, sulit sekali dijadikan pijakan. Terdapat yang dapat semacam Motinggo Busye, tetapi mayoritas tidak,” ucapnya.
Beliau berjibaku dengan mempelajari persuratkabaran pada siang hari yang dilanjutkan menggarap kesusastraan sesudah petang. Putu patuh menangani postingan dengan tidak melampaui batas waktu.” Tidak sempat aku menuntut kesusastraan dapat menghidupi. Kebalikannya, aku harus menghidupi kesusastraan,” ucapnya.
Sehabis 21 tahun dengan dana seperlunya, Putu memberhentikan kiprah di majalah mingguan. Industri juga telah banyak membuka peluang serta atensi yang amat besar. Luang tebersit kegelisahan pertanyaan mungkin hak istimewa yang mengakibatkan pemikiran miring koleganya, namun beliau sungkan berselisih.
” Aku pengin bersahabat dengan seluruhnya. Seandainya buat banyak orang dengki, aku tidak ingin bisa prioritas,” tuturnya. Si istri pula memberkati komitmen Putu buat meniti jalur kesusastraan yang diklaim dengan kesiapannya. Sehabis diberi lampu hijau, beliau malah gelisah.
Putu mencermati kesusastraan arus penting, paling utama dengan obyektifikasi wanita, lagi laris- larisnya serta dibuat balik.” Buatan aku khusus, sehabis 10 tahun, edisi kedua saja tidak terdapat. Tidak tahu terdapat ataupun tidak. Yang nyata, laporannya tidak terdapat,” tuturnya.
Beliau juga melihat kemungkinan dari drama serta film. Putu sangat berlega hati bersamaan peluang- peluang yang tampaknya bertambah terbentang.” Pintu- pintu yang membolehkan buat hidup terbuka, tetapi aku senantiasa wajib berjuang. Aku tidak cuma bertugas pada siang ataupun malam, tetapi satu hari penuh,” ucapnya.
Harus berjuang
Beliau sekonyong- konyong teringat kala sedang bersandar di kursi SMP. Putu menunggu adanya gagasan saat sebelum menulis. Belum lagi mulai, tubuh wajib betul- betul aman, kendala ditentukan nihil, serta atmosfer batin nama lain mood pula lagi baik.
Asian, Putu berjumpa Kirdjomuljo yang menyutradarai buatan menyesuaikan diri Anton Chekhov, Badak, sewaktu menempuh era SMA.” Jika perasaan belum lezat, betul, tidak menulis. Bertepatan, sahabat pula senang bercerita serta memiliki mesin tik. Tutur Pak Kirdjo, jika memiliki mesin tik, aku hendak berjuang,” ucapnya.
Putu terkesiap. Beliau merenungkan sebutan peperangan yang bisa jadi kelewatan bila dipakai buat membingkai kultivasi kesusastraan belaka.” Berjuang, kan, untuk revolusi raga. Mengapa harus berjuang lagi? Sahabat tersimpul, tetapi aku mikir hingga semalam suntuk,” tuturnya.
Keesokan paginya, Putu terbangun buat tidak lagi menanti ajaran. Ilham wajib dicari apalagi dikejar. Bila belum bertemu, benak selayaknya dibongkar.” Hingga bisa. Baca- baca jika butuh. Membuat suatu jadi terdapat. Jika dipanggil serta dibawa bertugas, mood hendak tiba,” imbuhnya.
Beliau lalu mempertautkan elan itu dengan kegigihan para ahli. Pramoedya Ananta Toer, misalnya banyak berlatih serta Goenawan Mohamad membaca banyak sekali novel.” Kegiatan juga wajib berkeringat. Tidak beda dengan orang tani. Butuh daya, benak, serta durasi,” serunya.
Kadangkala, beban justru menstimulus artis buat menyambut sekalian berasumsi pintar. Buatan yang tidak dilansir memanglah telah resiko.” Hingga, wajib ketahui politik, asal usul, serta ekonomi pula. Jadi cerpenis memanglah susah, tetapi jika ingin, dapat. Kegiatan,” tegasnya.
Beliau senantiasa optimistis bagus mengenang Indonesia mempunyai adat yang amat banyak. Ahli sastra dapat mengadakan penataran pembibitan, artikulasi syair, serta bibir adat- istiadat ataupun pemahaman.” Jika amati telah banyak buatan yang diterjemahkan, ahli sastra senantiasa memiliki peluang,” tuturnya.
Terbebas dari modul, beliau juga menekankan berartinya ahli sastra menikmati pengembaraan alam angan- angan yang melegakan jiwa.” Kebahagiaan hati serupa nilainya dengan kebahagiaan keuangan. Terdapat orang berlimpah harta, tetapi tidak bahagia yang menyebabkannya merasa miskin,” ucapnya.
I Baginda Ngurah Putu Wijaya
Lahir: Istana Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944
Istri: Bidadari Pramunawati
Pembelajaran terakhir: S- 1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Apresiasi: Ahli honoris causa dari Institut Seni Indonesia( ISI) Yogyakarta