Pepel, Memediasi Bentrokan lewat Adat – Konflik di dusun ini tidak saja dituntaskan dengan cara hukum resmi. Pepel, Kepala Adat Dayak .
Wajahnya
kerut. Pendengarannya tidak lagi runcing. Kakinya pula tidak lagi sanggup menopang badan berjalan. Tetapi, kencana69 kesucian sedemikian itu terasa di tiap percakapan. Pria yang cuma sanggup beraktifitas dengan bersandar bersila ini kerap kali membilai banyolan, diiringi gelak tawa yang membuktikan nyata kalau beliau telah rongak. Nampak imut serta lucu.
Pepel namanya. Beliau berterus terang berumur lebih dari 100 tahun. Tetapi, dalam memo KTP beliau terdaftar lahir pada 25 Januari 1935.
” Orang dahulu kala( dahulu) tidak tulis tahun lahir, tidak ketahui tahun. Memo di KTP itu tebak- tebakan saja. Masa Jepang melanda, aku kayaknya telah baya belasan,” tutur Pepel, ditemui di rumahnya di Dusun Sekuan Mampu, Kecamatan Ambang Komam, Kabupaten Jangka, Kalimantan Timur, Jumat( 13 atau 6 atau 2025).
Beliau merupakan wujud berarti di kampungnya, paling utama dalam menuntaskan beberapa perkara pangkal rumput. Selaku Kepala Adat Dayak Jangka Dusun Sekuan Mampu, beliau bungkus awal menuntaskan banyak perihal. Mulai dari bentrokan aturan batasan tanah sampai perpisahan.
Kala terdapat suami- istri yang berkonflik serta membidik ke perpisahan, masyarakat desa awal mula hendak mendatangi Pepel di rumahnya. Pepel hendak menanya keadaan elementer hal pangkal cekcok. Karena pendengarannya tidak lagi maksimal, masyarakat yang dimediasi Pepel sering harus mengencangkan suara dikala berbicara. Istrinya, Miah( 70), sering mendampingi Pepel supaya komunikasi lebih mudah.
” Intinya, aku cuma berikan wejangan. Ingat masa- masa bagus. Membenarkan kekeliruan serta berkomitmen janganlah mengulanginya,” tutur Pepel.
Dengan perkataan simpel sejenis itu, banyak mempelai yang kesimpulannya tidak jadi berpisah. Bila begitu, mereka hendak membuat pesan akad. Suami- istri serta kepala adat turut ciri tangan.
Memanglah tidak seluruh perantaraan berjalan lembut. Terdapat pula pendamping yang tersumbat dikala dimediasi oleh Pepel. Bila begitu, mereka hendak membuat pesan perjanjian pecah,
yang pula ditandatangani Pepel.
Pesan seperti itu yang setelah itu jadi bekal buat meneruskan cara hukum. Pendamping yang berkukuh berpisah hendak meneruskan cara ke Majelis hukum Agama Tanah Grogot, Kabupaten Jangka.
Orangtua yang melindungi
Berita Linus( 46), masyarakat Kecamatan Ambang Komam, berkata terdapat sebutan lokal jaut ngukut ganggang pentur bawo. Maksudnya, orangtua di desa harus mencegah serta menaungi masyarakatnya dari lahir hingga tewas.
Beliau mengatakan Pepel diseleksi masyarakat selaku kepala adat karena pergaulannya yang besar. Pepel pula tidak sempat ikut serta bentrokan berarti dengan masyarakat lain serta memiliki wawasan adat yang ahli. Dengan kepribadian itu, Pepel dirasa sesuai melaksanakan kewajiban selaku kepala adat.
” Pak Pepel itu menaungi 3 kaum besar yang bermukim di desa mari: Dayak Deah, Dayak Jangka, serta Dayak Luangan,” ucap Berita yang kerap berkaitan dengan Pepel sebab bertetangga dekat.
Di luar hal bentrokan, Pepel juga mengurus bermacam perihal hal daur kehidupan warga Dayak di kampungnya. Sebagian di antara lain momen kelahiran, perkawinan, kematian, serta era panen.
Dalam daur hidup itu, Pepel mengetuai prosesi adat. Intinya, ritual adatnya berbentuk seremoni buat berkah bersama supaya tiap daur kehidupan warga Dayak di situ berjalan bagus.
Sehabis era panen antah, misalnya. Warga setempat hendak melakukan ritual belian.
Itu ialah prosesi berkah bersama selaku rasa terima kasih alam sarwa sedang dapat bertugas serupa dengan orang buat berikan nafkah.
” Tidak hanya itu, buat menghormati kakek moyang yang telah mengarahkan metode bertani,” ucap Pepel.
Tidak mau sok tahu
Biarpun mengemban kedudukan berarti di pangkal rumput, Pepel tidak mau memakai jabatannya selaku” obat seluruh penyakit”. Terdapat kalanya beliau tidak mau turut aduk bentrokan yang bertumbuh di warga.
Misalnya, terdapat musibah truk yang melenyapkan nyawa seorang di jalur raya. Pepel menganjurkan perihal itu langsung diserahkan ke ranah hukum. Karena, beliau tidak memiliki keahlian menganalisa siapa yang salah serta gimana penyelesaiannya.
Berjarak dekat 200 km dari Kota Balikpapan, dengan kedudukan Pepel itu, perkampungan di Kecamatan Ambang Komam memiliki sejenis metode kesamarataan restoratif dalam menuntaskan bentrokan di lingkungannya. Mereka tidak kontan menuntaskan permasalahan ke rute hukum resmi.
Dengan kedudukan itu, penguasa dusun setempat memanglah membagikan sejenis bayaran operasional buat Pepel. Beliau tidak mengatakan nominalnya. Walaupun begitu, bagi ia, dibayar ataupun tidak, kewajiban orangtua di desa memanglah begitu.
” Orangtua semacam aku yang menunggu mati ini memanglah mestinya menghabiskan hidup untuk perihal bermanfaat. Mudah- mudahan yang aku jalani bermanfaat untuk orang sebelah serta kerabat,” tutur Pepel.
Di tengah melonjaknya kemampuan bentrokan sosial dampak perkara agraria, batasan area, serta hal adat di sebagian dusun di Pulau Lombok, kedatangan wujud semacam Pepel jadi sinar instruktur dalam gelapnya bentrokan. Pepel bukan administratur penguasa, bukan pula petugas keamanan. Beliau merupakan seseorang figur adat, pengawal angka serta adat- istiadat lokal, yang mengabdikan hidupnya buat memediasi serta mendamaikan warga lewat pendekatan adat.
Pepel—nama panggilan bersahabat dari Kemudian Abdul Majid—adalah seseorang figur adat Sasak dari Dusun Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur. Semenjak belia, Pepel diketahui selaku individu yang adab, bijaksana, serta menguasai dengan mendalam hukum- hukum adat yang legal di wilayahnya. Saat ini, di umur 60 tahun, beliau sedang aktif menjembatani bentrokan sosial yang tidak tidak sering membuat petugas penguasa ambil tangan.
Bentrokan Tanah serta Batasan Wilayah
Salah satu permasalahan yang jadi atensi besar merupakan bentrokan batasan tanah antara 2 desa di Dusun Pringgasela Selatan. Bentrokan itu berjalan lebih dari 5 tahun, dipicu oleh bentrokan batasan kebun peninggalan yang mengaitkan puluhan keluarga. Telah berulang kali difasilitasi oleh penguasa dusun serta kecamatan, tetapi tidak sempat menciptakan titik temu.
Sampai kesimpulannya, Pepel turun tangan.
“ Permasalahan tanah bukan semata- mata pertanyaan batasan raga. Terdapat rasa, asal usul, serta aluran yang turut main,” ucap Pepel kala ditemui reporter Sanindo di kediamannya.“ Perundingan modern kerap kurang ingat pada pangkal penuh emosi warga dusun. Di situlah kedudukan adat dibutuhkan.”
Pepel mulai melukiskan balik asal usul kepemilikan tanah bersumber pada akta kuno serta narasi perkataan datuk dusun. Beliau mengakulasi para pengelola kebutuhan dalam pertemuan adat yang diucap mupakat bale bale. Cara ini berjalan sepanjang 3 bulan, dicoba dengan cara teratur serta terbuka. Hasilnya, suatu perjanjian rukun yang ditandatangani oleh kedua pihak serta disahkan oleh badan adat.
Bagi Kepala Dusun Pringgasela, Kemudian Hermansyah, kesuksesan Pepel menuntaskan bentrokan itu jauh melewati ekspektasi.“ Bila seluruh pihak menjajaki rute hukum resmi, bisa jadi bentrokan ini terkini berakhir bertahun- tahun lagi di majelis hukum. Tetapi dengan pendekatan adat yang dicoba Pepel, rasa silih yakin berkembang balik,” tuturnya.
Menyirat Rukun lewat Bahasa Adat
Daya penting Pepel terdapat pada kemampuannya merangkai bahasa- bahasa adat yang memegang marah serta angka lokal. Beliau sering memakai simbol- simbol adat semacam khidmat begawe( permohonan maaf dalam seremoni adat) ataupun berdiri bale( ikon kesatuan rumah tangga serta warga) buat mengantarkan catatan perdamaian.
“ Jika kita marah, serta rival kita pula marah, hingga alam ini kian panas. Tetapi jika terdapat satu yang memilah jadi air, hingga api juga dapat mati,” ucapnya dikala berikan ajakan dalam suatu permasalahan bentrokan keluarga di Dusun Jurit Terkini.
Cara perantaraan yang dicoba Pepel nyaris tidak sempat menekankan siapa yang betul ataupun salah. Menurutnya, seluruh pihak merupakan bagian dari satu badan besar bernama warga. Hingga, memulihkan cedera wajib dicoba dengan cara beramai- ramai serta global.
“ Pepel senantiasa mengarahkan kalau tidak terdapat kemenangan dalam bentrokan kerabat. Yang terdapat cuma kehilangan bersama bila rukun tidak lekas dirajut,” tutur Nurlaela, seseorang guru SD yang sempat jadi penyedia dalam forum perantaraan adat.
Kedudukan Adat di Tengah Sistem Formal
Di masa pembaharuan serta formalisasi hukum, kedudukan figur adat semacam Pepel sering terpinggirkan. Tetapi di Lombok, paling utama di wilayah- wilayah perdesaan, warga sedang amat meluhurkan bentuk adat serta wejangan para datuk.
“ Kadangkala warga lebih yakin pada ketetapan figur adat dibandingkan petugas sah, sebab mereka merasa didengarkan serta dipahami,” ucap Dokter. Zainul Arifin, antropolog dari Universitas Mataram.
Pepel sendiri tidak menyangkal kehadiran hukum negeri. Beliau malah mendesak integrasi antara sistem adat serta resmi dalam penanganan bentrokan. Dalam sebagian permasalahan, beliau apalagi jadi saksi pakar adat di majelis hukum, menarangkan kondisi adat dari bentrokan yang terjalin.
Diketahui sampai Luar Daerah
Ketenaran Pepel selaku jembatan adat tidak cuma diketahui di Lombok Timur. Dalam sebagian tahun terakhir, beliau sering diundang ke wilayah lain di NTB apalagi Bali buat menolong menuntaskan perkara sosial yang lingkungan. Pendekatannya yang humanis serta mendalam pada nilai- nilai kebajikan lokal buatnya dinamai“ ahli rukun dari timur”.
Salah satu pengalaman berkesan merupakan dikala beliau dimohon jadi penengah bentrokan antara 2 komunitas nelayan di pinggiran Lombok- Bali yang bersikeras dampak area ambil laut. Dalam 2 kali pertemuan, Pepel sukses membuat kedua golongan meluluskan akad pengurusan area dengan cara bergiliran.
“ Durasi itu, seluruh orang bilang itu tak mungkin. Tetapi Pepel tiba, ucapan dengan bahasa batin, serta mereka cair,” tutur seseorang kepala desa di Dusun Lembar Selatan.
Re- genarisi serta Tantangan
Walaupun sudah berkecimpung sepanjang puluhan tahun, Pepel berterus terang mulai mempertimbangkan re- genarisi. Beliau saat ini membuat golongan belia bernama Bale Perantaraan Adat yang terdiri dari kanak- kanak belia yang mau berlatih menuntaskan bentrokan dengan cara adat.
“ Jika tidak terdapat yang melanjutkan, hingga adat rukun ini dapat musnah,” tuturnya.
Tantangan lain yang dialami merupakan sedikitnya sokongan dari penguasa wilayah kepada inisiatif penanganan bentrokan berplatform adat. Banyak figur adat yang bertugas ikhlas, tanpa insentif ataupun sokongan administratif.
“ Kita memerlukan pengakuan, bukan cuma dalam wujud formalitas, tetapi pula regulasi serta pendanaan,” ucap Pepel.
Penutup
Wujud Pepel membuktikan kalau penanganan bentrokan tidak senantiasa wajib lewat rute kewenangan ataupun majelis hukum. Terdapat jalur lain yang lebih halus, lebih kemanusiaan, serta kerap kali lebih efektif—yakni lewat adat, angka lokal, serta kebajikan kakek moyang.
Di tengah era yang serba kilat serta kepribadian abdi yang gampang tersulut, figur semacam Pepel merupakan pengingat kalau rukun itu bukan semata- mata tutur. Beliau merupakan jalur hidup. Serta untuk warga Lombok, Pepel merupakan pengawal jalur rukun itu.