Ananda Sukarlan Perlawanan Ratu Ternate

Ananda Sukarlan Perlawanan Istri raja Ternate

Ananda Sukarlan Perlawanan Ratu Ternate – Iringan lagu nasional ”Tanah Airku” pun berkumandang di bagian akhir film.

Film berjudul, Rainha Boki Raja—Ratu Ternate Abad Keenam Belas, film dokumenter berdurasi 29 menit, Rabu (11/6/2025), diputar di america, Mal Pacific Place, Jakarta. Film ini diproduksi pada 2023 dan masuk nominasi film dokumenter pendek terbaik FFI 2024.

Film itu menyingkap perlawanan seorang Ratu Ternate terhadap Portugis di abad XVI. Kisah bersejarah Ratu ternate itu pun masih samar-samar sampai sekarang. Ananda Sukarlan, pianis dan komponis ternama, ditunjuk menjadi penata musik film ini.

Saya menyesuaikan dengan iringan musik di abad XVI dengan meriset dokumen-dokumen yang ada di Portugis dan Spanyol,” ujar Ananda, menjelang pemutaran film tersebut di @america.

Ananda sebelum ini memang banyak berkiprah di dunia musik Eropa, terutama di Spanyol dan Portugis. Maka, tidaklah terlampau sulit membongkar dokumen musik bersejarah di abad XVI dari kedua negara tersebut.

”Musik yang berkembang pada waktu itu biasanya digunakan untuk gereja. Saya menemukan motif yang hampir mirip dengan lagu berjudul, ’Tanah Airku’, yang diciptakan Ibu Sud,” ujar Ananda.

Iringan lagu nasional ”Tanah Airku” pun berkumandang di bagian akhir film, selebihnya irama musik klasik yang diambil dari abad XVI bangsa Portugis dan Spanyol.

Pada masa itu, kedua bangsa ini bersaing untuk mendapatkan rempah-rempah dari tanah asalnya di Maluku. Berdasarkan perjanjian Tordesillas pada 1494, disepakati Portugis berlayar ke arah timur melalui jalur perdagangan di pantai barat Afrika menuju Asia. Kemudian Portugis sampai di Maluku untuk mendapatkan rempah-rempah dari sumber asalnya.

Spanyol berlayar ke arah barat dengan menyeberangi Atlantik hingga ke Amerika. Kemudian melanjutkan lagi ke Pasifik hingga wilayah Asia, dan tiba pula di wilayah Maluku.

Di wilayah Maluku Utara, Portugis berusaha menguasai wilayah Ternate. Spanyol pun merapat ke Tidore meski akhirnya pengaruh Spanyol ini dikalahkan Portugis.

”Untuk dokumen musik asli Ternate di abad XVI tidak pernah ada,” ujar Ananda.

Dalam dunia seni musik klasik Indonesia, nama Ananda Sukarlan tak asing lagi. Pianis dan komposer kelas dunia ini tak hanya dikenal karena prestasinya di panggung internasional, tetapi juga keberaniannya dalam menyuarakan pendapat melalui karya. Salah satu karya terbarunya, yang tengah menjadi perbincangan hangat, adalah komposisi bertajuk “Perlawanan Ratu Ternate”. Karya ini bukan sekadar musik; ia adalah bentuk perlawanan kultural, kritik sosial, dan penghormatan terhadap tokoh perempuan yang terlupakan dari sejarah Indonesia.

Latar Sejarah: Ratu Ternate yang Terpinggirkan
Dalam narasi sejarah kolonial, nama-nama besar seperti Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, atau Cut Nyak Dien kerap mengemuka. Namun, sejarah juga mencatat keberadaan Ratu Ternate—seorang pemimpin perempuan di wilayah timur Nusantara yang pada abad ke-17 menunjukkan perlawanan sengit terhadap penjajahan Belanda dan kekuatan-kekuatan asing yang mengancam kedaulatan Kesultanan Ternate.

Sayangnya, kisah kepemimpinan dan keberanian Ratu Ternate ini tenggelam dalam arus sejarah yang didominasi oleh tokoh-tokoh pria. Melalui komposisi ini, Ananda Sukarlan mencoba menghidupkan kembali suara perempuan yang selama ini terbungkam oleh waktu dan sistem.

Musik Sebagai Media Perlawanan
Dalam wawancara eksklusif dengan media, Ananda menjelaskan bahwa “Perlawanan Ratu Ternate” bukan hanya sekadar karya musik klasik biasa. “Saya tidak hanya menulis untuk telinga. Saya menulis untuk kesadaran,” katanya tegas.

Komposisi ini ditulis dalam bentuk piano suite dengan elemen musik kontemporer dan pengaruh melodi dari musik tradisional Maluku Utara. Setiap bagian mewakili fase-fase perjuangan Ratu Ternate—mulai dari kebangkitan, strategi perang, hingga perlawanan batin atas pengkhianatan dan tekanan kekuasaan.

Ananda menggunakan dinamika yang ekstrem—dari nada lirih penuh kerinduan akan tanah air hingga dentuman keras yang menggambarkan konflik. Ini adalah pementasan sejarah dalam bentuk bunyi, dan sekaligus kritik terhadap sistem patriarki serta pelupaan sejarah perempuan.

Penampilan Perdana di Jakarta
“Perlawanan Ratu Ternate” pertama kali dipentaskan dalam sebuah konser tunggal di Gedung Kesenian Jakarta pada pertengahan Juni 2025. Konser yang penuh muatan emosi itu berhasil memukau ratusan penonton yang hadir, termasuk kalangan budayawan, sejarawan, dan aktivis perempuan.

“Ini lebih dari konser musik. Ini adalah kuliah sejarah, manifesto budaya, dan panggilan untuk melawan amnesia kolektif kita,” ujar Rika Santika, seorang kritikus seni pertunjukan, setelah acara.

Penampilan Ananda tidak hanya menghadirkan musik, tetapi juga dibarengi dengan narasi visual dan puisi-puisi karya penyair Indonesia Timur yang diangkat untuk melengkapi atmosfer emosional dalam konser tersebut. Hal ini membuat karya ini semakin terasa sebagai bentuk seni multidimensi.

Simbol Perlawanan terhadap Kekuasaan dan Ketidakadilan
Bukan kali pertama Ananda Sukarlan menggunakan panggung seni sebagai alat menyampaikan kritik sosial dan politik. Ia dikenal vokal dalam berbagai isu, mulai dari pluralisme, toleransi, hingga kebebasan berekspresi. Dalam banyak kesempatan, ia tidak ragu mengkritik tokoh-tokoh politik yang menurutnya bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Dengan mengangkat “Ratu Ternate” sebagai simbol, Ananda juga sedang menyampaikan sindiran terhadap kekuasaan yang kerap meminggirkan peran perempuan. “Perempuan punya sejarah panjang dalam perjuangan bangsa ini, tapi kita sering menyingkirkan mereka dari halaman depan buku sejarah,” katanya.

Karya ini sekaligus menjadi bentuk refleksi atas kondisi kontemporer, di mana perempuan masih sering menjadi korban kekerasan struktural, politik diskriminatif, dan ketimpangan budaya. Melalui seni, Ananda mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga belajar dan bertindak.

Reaksi Publik dan Pemerintah
Tak pelak, karya ini menuai respons beragam. Banyak yang memuji keberanian dan kedalaman artistik Ananda, tetapi tidak sedikit pula yang menuduhnya “terlalu politis” atau “menghidupkan isu yang sudah lama mati.” Meski demikian, perhatian publik terhadap tokoh Ratu Ternate justru meningkat pasca konser tersebut.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bahkan menyatakan ketertarikannya untuk memasukkan kisah Ratu Ternate ke dalam kurikulum sejarah lokal. “Kami perlu karya seperti ini agar generasi muda tak hanya membaca sejarah, tetapi merasakannya,” kata Dirjen Kebudayaan, Restu Martani.

Ananda menyambut baik tanggapan itu, namun tetap memberi catatan. “Perubahan bukan datang dari atas. Ia harus tumbuh dari masyarakat yang sadar. Musik saya hanyalah pemantik,” ucapnya.

Masa Depan Perlawanan Melalui Musik
Setelah kesuksesan “Perlawanan Ratu Ternate”, Ananda mengaku tengah mempersiapkan karya-karya lanjutan yang mengangkat tokoh-tokoh sejarah perempuan dari daerah lain di Indonesia, seperti Lasarina Ino dari Flores dan Dayang Sumbi dari tanah Sunda. Ia ingin menciptakan rangkaian suite yang menjadi “ensiklopedia musikal perempuan-perempuan Nusantara.”

Ia juga membuka ruang kolaborasi dengan seniman daerah dan musisi muda untuk menciptakan karya lintas genre yang tetap berakar pada sejarah lokal. “Ini bukan sekadar soal perempuan atau musik klasik. Ini tentang keadilan budaya,” tegasnya.

Penutup
“Perlawanan Ratu Ternate” adalah lebih dari sekadar konser musik; ia adalah proyek kebudayaan yang memanggil kesadaran kita tentang siapa yang kita lupakan dalam sejarah. Melalui tangan Ananda Sukarlan, Ratu Ternate berbicara kembali—bukan dengan pedang, tetapi dengan melodi yang menembus batas zaman.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *